Rabu, 06 September 2023

Metatah Di Bali

 Metatah atau Potong Gigi 




Upacara Potong gigi  yang dalam bahasa bali sering pula disebut  mepandes, mesangih atau metatah merupakan ritual keagamaan yang harus dilaksanakan oleh semua umat Hindu di Bali, khususnya bagi yang telah menginjak masa remaja. Dalam ajaran ini terkandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang sedang dibutuhkan pada masa remaja sebagai sarana dalam pembentukan kepribadian anak yang merupakan kelanjutan dari pembentukan di masa bayi dalam kandungan, dengan harapan lahirnya anak yang suputra (anak yang baik). Oleh karena itu, sifat-sifat keraksasaan tersebut perlu dinetralisir dan dikendalikan, agar nantinya dapat tercapainya tujuan, yaitu diharapkan sifat-sifat keraksasaan dapat berubah menjadi sifat-sifat kebaikan. Upacara potong gigi adalah ritual  yang sudah dilaksanakan sejak dahulu kala dan terus berkembang sampai saat ini. Dan biasanya di Bali upacara potong gigi ini dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan upacara Ngaben, pernikahan, dan Ngeresi. Selain itu, Upacara Potong Gigi mengandung makna yang dalam bagi kehidupan, yaitu: (1) pergantian perilaku untuk menjadi manusia sejati yang dapat mengendalikan diri dari godaan nafsu, (2) memenuhi kewajiban orang tuanya terhadap anaknya untuk menemukan hakekat manusia yang sejati dan (3) untuk dapat bertemu kembali kelak di surga antara anak dengan orang tuanya setelah sama-sama meninggal. Metatah berasal dari kata tatah yang dalam bahasa Bali berarti pahat. Potong gigi dilakukan dengan mengikir kedua gigi taring dan empat gigi seri rahang atas. Namun, proses ini harus dilakukan dengan hati-hati. Setelah gigi dikikir, peserta metatah diminta untuk mencicipi enam rasa. Dari pahit dan asam, pedas, sepat, asin dan manis. Setiap rasa ini memiliki makna di dalamnya. Rasa pahit dan asam adalah simbol agar tabah menghadapi kehidupan yang keras. Rasa pedas sebagai simbol tentang kemarahan, senantiasa sabar apabila mengalami hal yang menimbulkan emosi kemarahan. Rasa sepat sebagai simbol agar taat pada peraturan atau norma-norma yang berlaku. Rasa asin menandakan kebijaksanaan sedangkan rasa manis sebagai penanda kehidupan yang bahagia. Upacara potong gigi umumnya dilakukan pada pagi hari setelah matahari terbit namun ada pula di beberapa daerah di Bali melaksanakannya pada subuh sebelum matahari terbit. Pakaian potong gigi juga sangat khusus, berwarna putih dan kuning. Sehari sebelumnya biasa dilakukan upacara mekekeb atau mepingit untuk yang akan melakukan potong gigi. Mereka dilarang untuk keluar rumah. Upacara potong gigi memerlukan dana yang tidak sedikit, untuk itu sering diadakan metatah massal yang boleh diikuti oleh masyarakat yang kurang mampu, bahkan ada beberapa desa yang melaksanakan potong gigi massal gratis. Metatah adalah ritual wajib bagi umat Hindu, dan merupakan kewajiban orang tua melaksanakannya sebelum anak mereka memasuki perkawinan.

Ritual Ngaben

 Ngaben


Bagi masyarakat Bali, Ngaben merupakan peristiwa yang sangat penting, karena dengan melangsungkan tradisi ini, keluarga dapat membebaskan arwah orang yang telah meninggal dari ikatan-ikatan duniawi menuju surga dan menunggu reinkarnasi. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam). Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian tradisi Ngaben untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka. Bagi pihak keluarga, tradisi Ngaben ini merupakan simbol, bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan. Jika Ngaben ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan dan menjadi bhuta cuwil. Demikian pula bila yang orang meninggal dunia dikubur di tanah tanpa upacara yang patut. Hal itu disebabkan, karena roh-roh tersebut belum melepaskan keterikatannya dengan alam manusia. Maka, perlu diadakan upacara tradisi Ngaben Bhuta Cuwil. Tradisi Ngaben termasuk upacara mahal. Mereka yang memiliki cukup dana harus segera melaksanakannya. Jika yang meninggal dunia seorang pendeta, maka Ngaben harus segera dilakukan, dan tidak boleh menyentuh tanah. Proses upacara Ngaben berlangsung cukup panjang. Dimulai dengan Ngulapin, yaitu pihak keluarga melakukan ritual permohonan izin dan restu kepada Dewi Surga yang merupakan sakti dari Dewa Siwa. Ngulapin dilakukan di Pura Dalem. Setelah itu, dilakukan upacara Meseh Lawang yang bertujuan untuk memulihkan cacat atau kerusakan jenazah yang dilakukan secara simbolis. Upacara Meseh Lawang ini dilakukan di catus pata atau di bibir kuburan. Berikutnya adalah upacara Mesiram atau Mabersih, yaitu memandikan jenazah yang terkadang hanya berupa tulang belulang, dilakukan di rumah duka atau kuburan. Tahap pertama, adalah upacara Ngaskara, yaitu upacara penyucian jiwa tahap awal. Dilanjutkan dengan Nerpana yaitu upacara persembahan sesajen ata bebanten kepada jiwa yang telah meninggal. Puncak dari prosesi Ngaben adalah Ngeseng Sawa, yaitu pembakaran jenazah yang dilakukan di setra atau kuburan. Jenazah yang akan dibakar diletakkan di dalam sebuah replika lembu yang disebut Petulangan. Petulangan adalah tempat membakar jenazah yang berfungsi sebagai pengantar roh kea lam roh sesuai dengan hasil perbuatannya di dunia. Usai jasad dibakar, dilakukan upacara Nuduk Galih, di mana keluarga mengumpulkan sisa-sisa tulang (abu) jenazah setelah pembakaran. Prosesi terakhir adalah Nganyut, yaitu menghanyutkan abu jenazah ke laut, sebagai simbolis pengembalian unsur air dan bersatunya kembali sang jiwa dengan alam. 

Rumah Adat Honai

 Rumah Adat Honai Papua


Asal Usul Rumah Hanoi 
Dahulu masyarakat suku dani masing tinggal dibawah pohon-pohon besar. Jadi saat malam toba mereka akan merasa kedinginan, Apalagi saat waktu hujan, mereka akan basah kehujanan dan kedinginan. Pasalnya, daun-daun pada pohon tersebut tidak dapat terus menerus menahan derasnya air hujan, apalagi saat angin bertiup kencang. Lalu pada suatu hari, masyarakat suku Dani yang bergantung pada alam tersebut, Kemudian belajar dengan burung-burung yang ada di sekitar. Mereka memperhatikan burung-burung yang sedang membuat sarang. Burung tersebut akan membuat sarang ketika hendak bertelur. Mereka melihat burung jantan dan betina iti terbang kesana kemari untuk mengumpulkan sejumlah ranting kayu dan rumput kering. Bahan-bahan tersebut kemudian dibentuk menjadi sarang yang bulat dan menjadi tempat tinggal yang hangat untuk anak burung yang baru lahir. Masvarakat suku Dani itu akhirnya juga belajar membuat ruman yang dapat melindung mereka dari cuaca panas, dingin dan hujan. Kemudian rumah itu dikenal dengan nama Honai, atau onai. Dalam bahasa daerah onal artinya rumah. Honai vang dibangun masyarakat suku Dani ini berbentuk bundar atau lingkaran persis seperti sarang burung, begitu pun atapnya yang berbentuk setengah lingkaran. Tidak ada Honai yang tidak bundar. 



Proses Pembuatan Rumah Honai 
Keluarga yang ingin membuat Honai akan mengundang kerabat atau keluarganya. Jadi selama proses pembangunan Honai, mereka akan makan bersama-sama yang disebut bakar batu. Pertama-tama, mereka akan menggali tanah kemudian menaruh sebuah batu besar yang datar sebagai alas tiang. Setelah itu, tiang utama itu ditaruh di atas batu besar tersebut. Tujuannya, agar tiang utama itu tidak cepat lapuk karena resapan air. Kemudian tiang tersebut diletakkan di titik tengah Honai. Selanjutnya di sekitar tiang tersebut digali tanah berbentuk lingkaran. Papan cincang yang berujung tajam ditancapkan atau ditanam mengikuti lingkaran yang sudah digali. Sementara jarak tiang utama dengan papan cincang disesuaikan dengan luas Honai yang ingin dibuat. Kemudian setiap papan yang ditanam, harus diikat dengan tali rotan agar dinding papan dapat berdiri dengan kokoh. Masyarakat suku Dani paling ahli dalam membentuk lingkaran Honai tanpa menggunakan jangka atau alat khusus. Konon katanya, itu merupakan kemampuan yang berasal dari hati. Setelah tiang dan dinding Honai berdiri, selanjutnya memasang rangka atap dengan cara mengikat kayu buah pada tiang utama dan dinding Honai. Kemudian kayu buah tersebut disusun melingkar seperti payung di atas Honai. Berikutnya alang-alang dikumpulkan kemudian diikat seperti mengikat sapu lidi untuk dipasang di atap. Lalu atap tersebut diikat di rangka atap menggunakan tali rotan. Agar tidak cepat membusuk, atap alang-alang tersebut diasapi. Bagian alasnya, masyarakat suku Dani menganyam lokop/pinde untuk dijadikan tikar sebagai tempat tidur. Lokop/pinde adalah bahasa daerah untuk tanaman yang menyerupai rotan karena sifatnya yang lentur, namun pada bagian dalamnya berongga seperti bambu.

Tari Saman Suku Gayo

Tari Saman 



Tari Saman terdapat di Aceh. Pada zaman Kesultanan Aceh, Tari Saman sendiri hanya boleh dilakukan pada waktu perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di kawasan masjid dekat Gayo. Seiring dengan perkembangan zaman, Tarian ini kemudian dapat dipentaskan di acara-acara publik, seperti kunjungan tamu, pernikahan, pembukaan festival, dan acara-acara penting lainnya. Nama “Saman” sendiri diambil dari salah satu ulama besar Islam Aceh bernama Syekh Saman. Pada mulanya tarian ini sebagai permainan rakyat yang disebut Pok Ane. Kemudian ditambah lagi dengan iringan syair berisi puji-pujian kepada Allah SWT yang kemudian menjadi salah satu media misi Tari Saman. Tari Saman juga digunakan sebagai media dakwah, dimana para penari latihan di bawah kolong masjid agar tidak tertinggal saat shalat berjamaah. Kemudian Syekh juga akan menambahkan puisi-puisi perjuangan pada tarian Aceh ini untuk meningkatkan semangat masyarakat setempat. Tari Saman umumnya dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang akan dilakukan sambil berlutut atau duduk pada suatu barisan yang rapat. Pemimpin tarian ini akan duduk di tengah baris dan memimpin syair dalam bahasa Gayo. Tari Saman juga memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan bergerak secara seragam mengikuti irama harmoni musik. Gerakannya yang sangat sinkron, harmonis, selaras dengan dinamika lagu. Penarinya akan serempak bertepuk tangan, menepuk dada, paha, dan tanah, menjentikkan jari, serta mengayunkan dan memutar tubuh dan kepala mereka pada waktunya dengan ritme yang serempak, berubah secara bergantian. Gerakan ini kemudian melambangkan kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo dan lingkungan alamnya. Syekh Saman menambahkan bahwa syair berisi pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa ke dalam tarian tersebut. Kini Tari Saman juga dijadikan sebagai media dakwah umat Islam.


 
Alat musik yang digunakan untuk menarikan Tari Saman diantaranya adalah gendang tangan dan suara penari serta tepukan tangan dan dada. Keduanya juga kemudian dapat dikombinasikan dengan tamparan paha saat penari melakukan sinkronisasi dan melemparkan tubuh mereka ke arah yang berbeda sesuai irama.

 


Tradisi Ma'nene Suku Toraja Membersihkan Jenazah


TRADISI MA'NENE SUKU TORAJA


Ritual Ma'nene ini berawal dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, yang datang ke hutan pegunungan Balla. Saat itu, Pong menemukan sebuah jasad manusia yang telah meninggal dunia dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Oleh Pong, jasad itu dibawanya dan dikenakan pakaian yang layak untuk dikuburkan di tempat aman. Semenjak dari itu, Pong berturut-turut mendapatkan berkah. Tanaman pertanian miliknya panen lebih cepat dari waktu biasanya. Saat dia berburu pun, Pong kerap kali mendapatkan perburuannya dengan mudah. Dengan adanya peristiwa tersebut, Pong beranggapan bahwa jasad orang yang telah meninggal sekalipun harus tetap harus dirawat dan dihormati, meskipun jasad tersebut sudah tidak berbentuk lagi. Pong lalu mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu. Dan oleh penduduk Baruppu, amanah Pong tetap terjaga dengan terus dilaksanakannya ritual Ma' Nene tersebut.


Proses Ritual Ma'nene

Tahapan awal ritual Ma’nene yakni dimulai dengan pembersihan patane atau Liang kubur tempat jenazah serta tengkorak manusia di dalamnya.  Selanjutnya dalam beberapa hari keluarga akan berkunjung dan membawakan barang yang disukai oleh jenazah semasa  hidupnya berupa permen, rokok, buah dll. Masyarakat Toraja percaya roh mereka tetap ada didekat mereka. Di dalam patane terdapat ratusan jenazah yang telah menjadi tulang belulang dan berumur ratusan tahun. Selanjutnya mayat-mayat yang dikeluarkan satu per satu dari patane yang lama kemudian dijemur dan diletakkan di depan patane yang baru. Masyarakat saling bahu-membahu dalam mengangkat peti mayat tersebut. Sebelum dilakukan pembersihan, mayat dikeluarkan terlebih dahulu dari peti dan selanjutnya di jemur di bawah terik matahari. Ritual adat ma’nene dihadiri oleh keseluruhan keluarga dari jenazah walaupun mereka merantau di daerah yang jauh dari lembang buntu poton. Dalam momen ini suasananya terlihat sedih bahkan banyak juga sanak saudara/keturunannya yang menangis. Hal ini merupakan bentuk salah satu kegiatan upacara adat dan merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual serta sebagai perwujudan dari rasa cinta mereka kepada para leluhur, tokoh atau kerabat yang sudah meninggal dunia. Selanjutnya mayat dibersihkan dengan memakai kuas untuk menhilang kotoran/debu yang menempel pada tubuhnya. Pakaian lama yang sudah melekat bertahun-tahun dilepas dari tubuh mayat, mulai dari dasi, kemeja, celana,sepatu digantikan dengan pakaian baru, Di Patene mayat keluarga yang mulai berumur puluhan tahun sampai ratusan tahun tersimpan dengan keadaan utuh, karena sebelumnya diberi bahan pengawet seperti halnya “Mummy”. Mayat yang tubuhnya sudah tidak utuh akan dibungkus dengan kain merah karena kain menyimbolkan bagi mereka mayat tersebut merupakan dari golongan kasta tinggi yang dihormati. Mayat yang telah terbungkus kain merah akan dimasukkan kembali kedalam peti dan diangkat kedalam patene. Selanjutnya, untuk mayat yang sudah pakaiannya terganti langsung dikembalikan ke dalam liang batu. Kemudian pintu liang ditutup rapat dan digembok, liang ini akan terbuat pada saat ritual adat ma’nene selanjutnya. Di bagian lainnya juga terdapat bagian-bagian tubuh dari hewan (babi dan kerbau) yang dijadikan kurban persembahan yang biasa disebut dengan ma‟pesung. Bagian daging yang merupakan bagian yang mencakup seluruh bagian dari seluruh tubuh hewan kurban yang dimasak tersendiri kemudian penyuguhan sesajen itu nantinya didahulukan daripada penyuguhan makanan untuk manusia, sajian dari daging kurban persembahan beserta makan dinamakan pesung, tapi upacara kurban persembahannya disebut dengan ma‟pesung. Setelah semua warga sudah  berkumpul dan sudah disuguhi minuman dan kue, maka tokoh agama yaitu pemimpim ibadah ( Pendeta ) melakukan doa bersama sebelum makan bersama dan merupakan rangkaian terakhir dari acara Ma’nene tersebut.

 



Metatah Di Bali

 Metatah atau Potong Gigi  Upacara Potong gigi  yang dalam bahasa bali sering pula disebut  mepandes, mesangih atau metatah  merupakan ritua...